Strategi Mengatasi Terorisme dan Radikalisme Sampai Akarnya

Posted: April 23, 2013 in Opini

Kairo, Jumat 23/03/2012

Apresiasi sebesar-besarnya atas kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Republik Federal Jerman untuk mengatasi terorisme. Dengan kerja sama ini, maka seminar internasional bertema ‘Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global’ pun terwujud pada tanggal 16-18 Maret 2012 kemarin. Diantara nilai esensial yang mengemuka dalam seminar ini adalah pernyataan B. J. Habibie (Presiden ke-3 Indonesia), bahwa: “Penanganan terorisme tidak bisa dilakukan seperti menghadapi ancaman pertahanan dan keamanan klasik konvensional, akan tetapi dibutuhkan pendekatan, pemikiran, dan strategi baru dan canggih […] (NU Online 17/03/2012).

Merespon lompatan NU di atas, maka tulisan ini hadir sebagai bentuk penawaran pendekatan, pemikiran dan strategi yang—walaupun mungkin tak semuanya baru—nantinya bisa turut memberi wacana solutif atas merebaknya terorisme belakangan ini. Sebab bagi penulis, untuk menghabisi terorisme dan radikalisme memang merlukan pendekatan, pemikiran serta strategi yang cerdas, komprehensif dan integratif. Pun diperlukan keterlibatan dan peran banyak pihak, baik di tingkat nasional, regional maupun global.

Pertanyaan yang wajib dimunculkan terlebih dahulu adalah bahwa perang terbuka melawan terorisme telah sejak lama digalakkan, dengan pelbagai cara dan menelan dana cukup melimpah. Densus 88 dibentuk, pengejaran, pengepungan, saling baku tembak bak action-action dalam film sering kita saksikan, lalu hukuman mati ditegakkan. Namun kenapa terorisme tak pernah habis, bahkan semakin subur, cerdas, sistematis, kreatif dan inovatif melalui varian pelaksanaannya? Kenapa begitu? Bagi penulis, sebab terorisme, khususnya yang berlatar belakang agama, mempunyai pondasi pemikiran. “Perang terbuka” seperti tergambar di atas tak pernah mampu membunuh akarnya. Akarnya masih tetap hidup dan terus menumbuhkan duri-duri terorisme dan radikalisme kembali.

Menelisik Akar Terorisme dan Radikalisme

 Dalam beberapa note yang penulis sajikan terkait terorisme dan radikalisme, penulis selalu menegaskan, penanganan terorisme dan radikalisme tanpa memperhatikan akar pemikirannya tak akan bisa memberangus “virus berbahaya” ini. Sebab, memerangi keduanya tanpa melihat aspek fundamental, semisal dengan membentuk densus 88 itu, tak ubahnya pohon berduri yang beracun: “Hanya memotong duri-durinya saja, akan tetapi akarnya tetap hidup. Tentu suatu saat akar tersebut akan menumbuhkan duri-duri kembali”. Namun bukan berarti penanganan semacam itu tak diperlukan, bahkan harus disinergikan dengan penanganan yang lebih efisien. Lantas apa akar terorisme dan radikalisme yang berkedok agama itu? Dan bagaimana membunuhnya?

Akarnya banyak dan kadang sulit terbaca. Bagi penulis, salah satu hal fundamental yang harus diperhatikan adalah corak interpretasinya terhadap teks-teks agama. Sebab, pada akhirnya karakter penafsiran mereka terhadap teks agama membuahkan pemahaman keliru yang dianggap benar, atau pembunuhan yang dianggap jihad. Mereka tak segan-segan melakukan aksi anarkis berupa teror dan aksi radikal, meskipun nyawa sendiri taruhannya. Ironisnya, ideologi tersebut tersebar pesat di tengah masyarakat, entah didapat secara oral, melalui buku, ataupun media, baik cetak maupun elektronik. Jika hal fundamental tersebut merupakan“ideologi”, tentu logis jika terorisme dan radikalisme akan terus ada meskipun pelakunya diancam dengan sangsi yang paling tegas sekalipun.

Tesis bahwa akar terorisme dan radikalisme adalah “corak interpretasi agama” bisa dibenarkan oleh pengakuan para pelaku teror itu sendiri. Dalam beberapa aksinya, mereka berapologi bahwa apa yang mereka lakukan adalah berjihad di jalan Allah. Aksi tersebut mereka pahami dari teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah yang diinterpretasikan secara literal dan skriptural. Sebagai sample, simaklah penjelasan salah satu mantan anggota Jama’ah Islamiyah (JI), Nasir Abbas, yang juga mengetahui cara merakit bom. Sabtu (17/3/2012), ia berujar: “Di samping motif psikologis, aksi teror juga didorong motif ideologis, terutama tentang pentingnya aksi jihad. Mereka mendasarkan diri pada sejumlah ‘ayat perang’ yang secara permukaan memang potensial disalahgunakan.” (NU Online, 17/03/2012). Jika demikian maka interpretasi teks-teks keagamaan memiliki peran signifikan.

Langkah Strategis dan Kongkrit; Sebuah Tawaran

Jika konsisten dengan tesis di atas, maka penanganan solutif untuk terorisme dan radikalisme pun harus melibatkan banyak pihak; para ulama yang akan menginterpretasikan teks-teks keagamaan secara toleran dan moderat, media cetak maupun elektronik, serta percetakan dan penerbit yang diorientasikan menangkis wacana “Islam galak”. Masing-masing bergerak di medan yang telah digariskan, serta bersinergi, sehingga mempunyai kekuatan yang integral. Hasilnya pun akan maksimal.

Tanpa mensinergikan elemen-elemen tersebut, penanganan terorisme dan radikalisme dari akarnya akan sulit terwujud, atau bahkan mustahil. Bagi penulis, media saja tak cukup. Karena segencar apapun usaha media—bekerja sama dengan para pakar, misalkan—untuk mem-balance dan memberikan wacana pembanding, maka tak akan menuai hasil signifikan jika di satu sisi produksi wacana “Islam galak” terus bergerak di bawah. Di sinilah peran ulama sangat dibutuhkan, yakni untuk menghambat arus terorisme dan radikalisme agar tak terlalu deras mengalir ke media, semisal dengan fatwa kolektifnya, dll.

Sementara di sisi yang lain, gagasan moderat ulama tak akan tersosialisasikan tanpa bantuan media. Karena tanpa media, gagasan ulama akan terkotak di masjid dan pesantren. Medialah yang akan membumikan fatwa, pemikiran moderat serta toleran mereka ke penjuru dunia; “media sebagai corong ulama”. Ketika media dan ulama bisa berjalan harmonis, peran dari percetakan atau penerbit tak bisa dinomorduakan. Sebab buku adalah salah satu jalur utama yang dilewati gagasan radikal. Lihatlah buku-buku berhaluan ekstrem yang bisa dengan mudah didapat di toko-toko besar. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil yang maksimal,ketiganya harus berjalan satu jalur. Lantas, seperti apakah tugas kongkrit masing-masing elemen tersebut, dan bagaimana bentuk kerja samanya? Simaklah ulasan berikut!

Hal pertamayang harus dilakukan adalah menghimpun seluruh ulama untuk menggelar konferensi ber-skala Internasional, atau paling tidak Nasional. Baik yang ber-skala internasional maupun nasional harus melibatkan semua pihak, baik Sunni, Syi’ah, Wahabiyah dan lainnya. Khusus untuk konteks Indonesia, harus melibatkan semua pihak mulai dari pelosok desa hingga kota, baik  dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Ulama Indonesia (MUI), FPI (Front Pembela Islam) dan lainnya. Sedang terkait bagaimana teknis penghimpunan dan mekanisme konferensi, bisa dikonsultasikan dengan yang membidangi. Artinya gerakan ini harus melibatkan semua elemen.

Dengan menghimpun ulama secara menyeluruh, kesepakatan atau fatwa yang diputuskan bersama memiliki kekuatan dahsyat untuk meminimalisir kelompok ekstremis sampai dalam tahap minimal. Sebab, kelompok-kelompok yang sudah tersebut di atas mempunyai pengaruh kuat dan mengakar ke bawah. Lantas muncul pertanyaan, untuk apa konferensi para ulama harus dilakukan? Tentu saja konferensi ini guna menyepakati secara aklamatif fatwa-fatwa kolektif terkait poin-poin esensial berikut ini:

Pertama, fatwa kolektif larangan bom bunuh diri tidak pada tempatnya (seperti yang terjadi pada beberapa peristiwa di Indonesia). Pelaku juga tak dikategorikan sebagai ‘syahid’. Disusul fatwa larangan melakukan aksi teror dan radikal yang mengatasnamakan agama. Kemudian fatwa larangan keras saling mengkafirkan dan menuduh sesat secara serampangan kepada pihak manapun, khususnya yang masih membaca ‘kalimat tauhid’. Jika fatwa kolektif ini terealisasikan, maka bukan tak mungkin jika radikalisme dan terorisme yang berkedok agama akan punah.

Kedua, fatwa kolektif larangan publikasi dan menyebarkan ideologi dan doktrin yang berpotensi melahirkan terorisme dan radikalisme melalui media, baik cetak, online, ataupun lainnya. Termasuk larangan mengekspos ideologi yang mengkafirkan kelompok lain dan segala pemberitaan yang berpotensi melahirkan terorisme dan radikalisme. Ini terkait dengan gencarnya penyebaran benih terorisme dan radikalisme melalui media, khususnya internet. Hal demikian juga menuntut para kiai (baca-ulama) dan santrinya agar lebih melek dunia ke-media-an, khususnya media online. Namun ironisnya, akses kiai dan santri (sebagai calon kiai) ke media masih relatif minim.  

Ketiga, fatwa kolektif pembersihan kitab-kitab  atau buku-buku, baik klasik maupun kontemporer, dari segala ideologi dan doktrin yang menuduh kafir dan sesat secara membabi-buta terhadap kelompok yang masih membaca ‘kalimat tauhid’, atau lebih tepat yang intoleran terhadap pihak lain. Poin ketiga ini sangat penting, karena keberhasilan poin-poin di atas sangat ditentukan oleh poin ketiga ini. Di sinilah perlu adanya pensinergian antara ulama dan pihak percetakan dan penerbit. Pihak penerbit dan percetakan tentu tak bisa gegabah menghapus kandungan sebuah kitab (baca: buku) tanpa rekomendasi dari para ahlinya, yaitu ulama. Karena ulama-lah yang mengetahui mana yang perlu untuk dikonsumsi dan mana yang harus tetap dibaca oleh masyarakat luas.

Tentu fatwa-fatwa kolektif tersebut harus diimplementasikan ke realitas yang lebih kongkrit. Sebab itu harus ada tim pelaksana yang akan membantu mengimplementasikanya. Di sinilah nampak jelas peran pihak media. Bisa dikatakan mereka sebagai tim pelaksana di lapangan atau sebagai corong para ulama. Yang harus dilakukan pihak media di antaranya adalah:

Pertama, menggelar konferensi media, khususnya Media Islam, baik tingkat nasional maupun internasional yang memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu mengatasi terorisme dan radikalisme yang berkembang melalui media. Sebagai catatan bahwa Indonesia telah memprakarsai dua kali ‘Konferensi Media Islam Internasional’ (KMII). Yang pertama pada tanggal 1-3 September 1980, diikuti oleh 327 peserta dari 49 negara, dan yang kedua pada tanggal 12-16 Desember 2011 di Jakarta, yang diikuti oleh kurang lebih 330 peserta dari berbagai penjuru dunia. Ironisnya adalah, KMII yang pertama kali digelar pada tahun 1980 baru digelar lagi tahun 2011 kemarin. Ada bentangan waktu panjang sampai pada pelaksanaan yang kedua. Seharusnya, karena urgensi konferensi semacam ini, maka harus sering dilakukan—paling tidak—untuk meminimalisir aksi ekstremis agama.

Kedua, mempublikasikan secara total, massif dan kontinu fatwa-fatwa kolektif yang telah disepakati oleh para ulama dalam konferensi ulama di atas, serta pemikiran-pemikiran moderat dan toleran mereka melalui media-media yang mereka naungi.

Ketiga, mengimbangi derasnya arus terorisme dan radikalisme melalui pemberitaan yang menumbuhkan toleransi. Aplikasinya, pihak media harus bersinergi dengan para pakar untuk membersihkan media, khususnya media online, dari segala doktrin atau apapun yang berpotensi melahirkan terorisme dan radikalisme. Termasuk memblokir situs-situs yang gemar menebar benih kebencian dan kekerasan antar kelompok. Sebagaimana pemblokiran situs porno, seharusnya situs-situs yang berisi konten yang mampu membangkitkan terorisme dan radikalisme juga harus diblokir. Di sana memang ada beberapa situs yang berkedok Islam yang isinya sangat mencoreng citra Islam sebagai agama yang toleran, sebut saja, “voa-islam” dan “arrahmah”. Beberapa kontributor dalam kedua website tersebut lebih kerap mengeluarkan caci maki dari pada tulisan ilmiah-argumentatif.

Begitulah, bahwa untuk memerangi terorisme dan radikalisme memang membutuhkan peran dari banyak elemen. Sebenarnya masih banyak yang perlu diketengahkan di sini. Seperti memetakan teks-teks keagamaan yang telah diselewengkan kemudian dijadikan justifikasi atas tindak terorisme dan radikalisme. Kemudian menginterpretasikan teks-teks tersebut secara toleran dan moderat, sebagaimana yang telah dilakukan Al-Azhar. Akan tetapi karena terbatasnya ruang dan waktu maka penulis cukupkan sampai di sini dulu. Dan tentu, apa yang penulis kemukakan di atas masih sebatas wacana. Masih ada waktu untuk memikirkan, mendialogkan, dan membahas secara lebih mendalam dalam forum yang lebih serius dan dapat dipertanggungjawabkan. Sekian mohon maaf atas segala kesalahan. Wallahu a’lam bish shawab

Opini Situs Resmi Lakpesdam NU Mesir.

Leave a comment